PENDAHULUAN
Kita sebagai umat islam, khususnya Islam Ahlussunah wal
Jama’ah diharapkan tidak hanya mempelajari, mendalami, dan mengamalkan ilmu al
Qur’an melalui Ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari, mendalami, serta
mengamalkan ilmu hadits Rasulullah melalui Ulumul Hadits. Karena hadist
Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi al Qur’an.
Sedangkan Ulumul Hadits itu sendiri memiliki banyak cabang
ilmu-ilmu yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadits.
Cabang-cabang ilmu tersebut di antaranya adalah Ilmu
Rijal al Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu ‘Ilal Al Hadits, Ilmu Gharib
Al Hadits, Ilmu Mukhtalif Al hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu Fann
Al Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud Al Hadist, Ilmu Tashrif wa Tahrif, Ilmu
Mushthalah A Hadits, dll.
Perlu diketahui bahwa hukum pada suatu hadits tidak mutlak
benar dan berlaku selamanya melainkan ada kalanya perubahan-perubahan atau
penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu hadits yang mempelajari
permasalahan tersebut adalah ilmu Nasikh Mansukh Hadits.
Dalam makalah kami ini, ilmu Nasikh Mansukh tersebut
akan dibahas lebih lanjut dan mendetail mengingat akan pentingnya kita
mempelajari ilmu hadits.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita. Amin.
ILMU NASIKH WA MANSUKH HADITS
Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
Naskh menururt
bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang
menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau
menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan
yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu
dengan hukum yang datang kemudian.”[1]
Ilmu Nasikh wa
Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan
yang membahasa tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus
terhadap ketentuan hukum yang berlawanan
dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh
wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة
التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر
بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak
mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya,
karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian
yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang
mendahului adalah sebagai mansukh dan
hadis terakhir adalah sebagai nasikh.”[2]
Ilmu ini sangat
bermamfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud
yang tidak dapat dikompromokan atau dijama’. Bila dapat dikompromokan, hanya
sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut
dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromokan), hadits maqbul yang
tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
Bila diketahui mana
diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan
kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan
yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang
duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara
lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni penjelasan dari Rasulullah Saw.
Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.[3]
Cara mengetahui Nasikh wa
Mansukh Hadits
Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu
dari beberapa hala berikut ini:
1. Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda
beliau,
كنت نهيتكم عن زيادة القبور فزوروها فانها نذكر الاخره.
“Aku dahulu telah
melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah ziarah, karena
dapat mengingatkan akhirat.”
2. Perkataan Sahabat.
3. Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin
Aus,
افطر الحا جم والمحجوم.
“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” Dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, “Bawasanya Rasulullah berbekam
sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.”
Dalam salah satu
jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriah
ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah
dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
من شرب الخمر فا جلد وه فان عاد فيْ الرابعة فقتلوه.
“Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika
kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan adanya naskh terhadap hadits ini.” Dan ijma’
tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan adanya
nasikh.[4]
Syarat
– Syarat Nasakh
1. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan
syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat
‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2. Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.
Adanya nasikh (yang berhak
menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum
yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf).
Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah
tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany
mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1. Adanya dua hukum yang saling
bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara
sekaligus dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.
Faedah/Pentingnya
Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadis
Mengetahui ilmu nasikhwa mansukh adalah termaksud kewajiban yang
penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang
pembahas ilmu syariat tidak akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam
kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalail nash yang sudah
dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy
berkata: “Ilmu ini termaksud sarana penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana
diketahui bahwa rukun utama didalam
melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari
dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli itu haruslah
mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab
hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu,
akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah menginstimbatkan hukum dari
dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan)
ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang
terdahulu dan mana pula dalil yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi
makna.
Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
Para ulama banyak yang menaruh perhayian yang khusus dalam ilmu
ini. Imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu
Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad dengan Ibnu
Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu
kutip tulisan-tulisan ImamSyafi’i?” “Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak
imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan
mufassal seta nasikh dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk
berguru dengan Imam Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang
qadli, lalu ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan
mansukhnya suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan
membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.
Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah
merupakan usaha yang memeyahkan dan menghabiskan energi para puqoha.
Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis
pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri
sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah
As-Sudusy (61-118) H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh
wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita
menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
Pada tahun-tahun
yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis
kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur
diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya
Al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad.
Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di
Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya
muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang lebih populer dengan nama
kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat
yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah
tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah
(nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial
(Spanyol)
Kemudian setelah
itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh mian’l-Atsar”. Karya
Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy (548-584 H.). beliau
memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab
yang disusunya sudah mencangkup seluruh buah pikiran ulama-ulama itu.
Sistematisnya diatur menurut bap-bap fiqhiyah. Pada setiap bap fiqhiyah
dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak
mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan
mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam
merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319 H. Kitab itu
dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun
yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.
Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
1. Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat
mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, iaitu
mutawatir
dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya
ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan
ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya.
Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.[5]
2. Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama
Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun,
Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh seperti ini
memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis
ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit
tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat
daripada al-Barra’ bin `Azib:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل
على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.
Daripada
al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila
sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda
bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh
belas bulan.
Hadis
ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
Sesungguhnya
Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kr arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
(Surah al-Baqarah: 144)
3. Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah
mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie menegahnya.
Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan
hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan
yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum
kerabat.
Diwajibkan
ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat
secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)
Ayat
ini telah dimansukhkan dengan hadis:
عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو
ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود
Daripada
Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya
Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak
masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang
berhak menerima pusaka).”
Tetapi golongan yang tidak
mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat
wasiat
itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana
yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[6]
4. Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu
Dipersetujui Oleh Semua
Oleh kerana penentuan nasakh merupakan
perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam
menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang
dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau
bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam
hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai
telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang
berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai
hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan
dengan keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang
lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh. 18]
Contoh
Hadits Nasikh dan Mansukh
1. Memakan
makanan yang dimasak membatalkan whudu
Sebahagian
ulama berpendapat wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak apabila
hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu sudah tidak
ada kerana ada hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama berhujah dengan
hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:
زيد بن ثابت قال: سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول" الوضوء
مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار (
Wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak.
Hadis Abu Hurairah:
أن عبدالله
بن إبراهيم بن قارظ وجد أبا هريرة يتوضأ على المسجد. فقال: قال: إنما أتوضأ من أثوار أقط أكلتها. لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول" توضؤوا مما مست النار"(مسلم كتاب الحيض باب
الوضوء مما مست النار)
Sesungguhnya Abdullah bin Ibrahim bin Qarit mendapati
Abu Hurairah sedang berwuduk dekat
dengan masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk kerana beberapa
potong keju yang telah aku makan kerana aku mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: “Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak”
Imam
al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang diriwayatkan
daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha, Abu Ayyub dan
Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat whudu dimestikan apabila memakan makanan
yang telah dimasak.[7]
Menurut
al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar, Talhah, Anas
bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu `Izzah al-Hazali,
Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin Ya`mar, Hasan al-Basri
dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para fuqaha berpendapat tidak perlu
berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak. Mereka menganggap itu adalah
perkara yang terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.[8]
Hadis-hadis yang menjadi hujah mereka ialah:
Dari Ibn Abbas: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah
memakan kaki kambing yang hadapan, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Hadis `Amr bin Umayyah al-Dhamri:
Bahwa dia melihat Rasulullah s.a.w. memotong kaki
kambing yang hadapan yang dimakannya, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.
Hadis Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.:
Dari Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w. katanya: “Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yangdihadapanya dekat dengan
beliau, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”
Dari Jabir katanya: Perkara terakhir daripada
Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak
dengan api.
KESIMPULAN
Ilmu nasikh dan mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membahas tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap
ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih
dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak periode hadits pada
awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri
sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
· Adanya mansukh (yang dihapus)
· Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus)
· Adanya nasikh (yang berhak
menghapus)
· Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum
yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf)
Alhamdulillah. tulisan yang bagus.