Rabu, 16 November 2011

Ilmu Nasikh wa Mansukh



PENDAHULUAN

Kita sebagai umat islam, khususnya Islam Ahlussunah wal Jama’ah diharapkan tidak hanya mempelajari, mendalami, dan mengamalkan ilmu al Qur’an melalui Ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari, mendalami, serta mengamalkan ilmu hadits Rasulullah melalui Ulumul Hadits. Karena hadist Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi al Qur’an.
Sedangkan Ulumul Hadits itu sendiri memiliki banyak cabang ilmu-ilmu yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadits.
Cabang-cabang ilmu tersebut di antaranya adalah Ilmu Rijal al Hadits, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu ‘Ilal Al Hadits, Ilmu Gharib Al Hadits, Ilmu Mukhtalif Al hadits, Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu Fann Al Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud Al Hadist, Ilmu Tashrif wa Tahrif, Ilmu Mushthalah A Hadits, dll.
Perlu diketahui bahwa hukum pada suatu hadits tidak mutlak benar dan berlaku selamanya melainkan ada kalanya perubahan-perubahan atau penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu hadits yang mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu Nasikh Mansukh Hadits.
Dalam makalah kami ini, ilmu Nasikh Mansukh tersebut akan dibahas lebih lanjut dan mendetail mengingat akan pentingnya kita mempelajari ilmu hadits.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita. Amin.



ILMU NASIKH WA MANSUKH HADITS

Pengertian Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadits
            Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.”[1]
            Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan  yang membahasa tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan  hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu disebut ilmu Nasikh wa’l-Mansukh.
Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:
هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.
”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh  dan hadis terakhir adalah  sebagai nasikh.”[2]
                        Ilmu ini sangat bermamfaat untuk pengamalan hadits bila ada dua hadits maqbul yang tanaqud yang tidak dapat dikompromokan atau dijama’. Bila dapat dikompromokan, hanya sampai pada tingkat Mukhtalif al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’ (dikompromokan), hadits maqbul yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.
                        Bila diketahui mana diantara kedua hadits yang di-wurud-kan lebih dulu dan yang di-wurud-kan kemudian, wurud kemudian (terakhir) itulah yang diamalkan, sedangkan yang lebih dulu tidak diamalkan. Yang belakangan disebut nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh, antara lain berupa cara mengetahui nasakh,yakni penjelasan dari Rasulullah Saw. Sendiri, keterangan Sahabat dan dari tarikh datangnya matan yang dimaksud.[3]
Cara mengetahui  Nasikh wa Mansukh Hadits
            Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hala berikut ini:
1.  Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,
كنت نهيتكم عن زيادة القبور فزوروها فانها نذكر الاخره.
“Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.”
2.  Perkataan Sahabat.
3.  Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin Aus,
افطر الحا جم والمحجوم.
“Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya.” Dinasakh oleh hadis Ibnu Abbas, “Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.”
            Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4.  Ijma’ ulama. Seperti hadits yang berbunyi,
من شرب الخمر فا جلد وه فان عاد فيْ الرابعة فقتلوه.
“Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Imam An-Nawawi berkata, “Ijma’ ulama menunjukan adanya  naskh terhadap hadits ini.” Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan adanya nasikh.[4]

Syarat – Syarat Nasakh
1.      Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah         berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
2.      Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
3.      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
4.      Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.

Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1.      Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.      Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
3.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.

Faedah/Pentingnya Ilmu Nasikh wa Mansukh Hadis
            Mengetahui ilmu nasikhwa mansukh adalah termaksud kewajiban yang penting bagi orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu syariat. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak akan memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengetahui dalil-dalail nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil yang menasakhnya. Atas dasar itulah al-Hazimiy berkata: “Ilmu ini termaksud sarana penyempurnaan ijtihad, sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun  utama didalam melakukan ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukuil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
            Memahami kitab hadits menurut yang tersurat adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu, akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah menginstimbatkan hukum dari dalil-dalil yang tidak jelas penunjuknya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan mana pula dalil yang terkemudian dan lain sebagainya dari segi makna.
Perhatian para ulama terhadap Ilmu Nasikh wa Mansukh
            Para ulama banyak yang menaruh perhayian yang khusus dalam ilmu ini. Imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata Imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan ImamSyafi’i?” “Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “kamu tidak dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal seta nasikh dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan Imam Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bertemu dengan seorang qadli, lalu ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadits?” “Tidak”, jawab qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.
Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah merupakan usaha yang memeyahkan dan menghabiskan energi para puqoha.

Kitab-kitab Nasikh dan Mansukh
            Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sudusy (61-118) H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul “An-Nasikh wa’l-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita menfaatkan, lantaran tiada sampai kepada kita.
            Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa’l-Mansukh. Diantara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya Al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (261 H), rekan Imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad Al-Bagdady, yang lebih populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan (manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol)
            Kemudian setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh mian’l-Atsar”. Karya Al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimy (548-584 H.). beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunya sudah mencangkup seluruh buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bap-bap fiqhiyah. Pada setiap bap fiqhiyah dikemukakan hadits-hadits yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun1319 H. Kitab itu dicetak di India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.

Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits

1.  Nasakh Hadis Dengan Hadis

            Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan hadis, iaitu
mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.[5]

2.  Nasakh Hadis Dengan al-Qur’an

            Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadis dengan al-Qur’an. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan al-Qur’an. Al-Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib:

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اول ماقد المد ينة نزل على احداده من الاء نصاروانه صلى قبل بيت المقد س سته عشر شهرا اءوسبعه عشر شهر.

Daripada al-Barra’ bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.

Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:






Sesungguhnya Kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kr arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)

3.  Nasakh al-Qur’an Dengan Hadis

            Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan al-Qur’an sementara Imam al-Syafie menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh al-Qur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.






Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapa dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)

Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis:

عن ابي امامة, قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسم يقو ل: " ان الله قد أعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية لوارث" ابو داود

Daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang yang berhak menerima pusaka).”

            Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa ayat
wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[6]

4.  Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua

            Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh. 18]

Contoh Hadits Nasikh dan Mansukh

1.  Memakan makanan yang dimasak membatalkan whudu

            Sebahagian ulama berpendapat wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak apabila hendak melaksanakan Sholat. Sebagian yang lain mengatakan hukum itu sudah tidak ada kerana ada hadis yang menasakhkannya. Golongan yang pertama berhujah dengan hadis yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari Zaid bin Tshabit:

زيد بن ثابت قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول" الوضوء مما مست النار" (مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار (

Wajib berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak.

Hadis Abu Hurairah:
أن عبدالله بن إبراهيم بن قارظ وجد أبا هريرة يتوضأ على المسجد. فقال: قال: إنما أتوضأ من أثوار أقط أكلتها. لأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول" توضؤوا مما مست النار"(مسلم كتاب الحيض باب الوضوء مما مست النار)


Sesungguhnya Abdullah bin Ibrahim bin Qarit mendapati Abu Hurairah sedang berwuduk  dekat dengan masjid, lalu beliau berkata: “Sebenarnya aku berwuduk kerana beberapa potong keju yang telah aku makan kerana aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hendaklah kamu berwuduk setelah memakan makanan yang dimasak”


            Imam al-Tirmizi menyebutkan dalam bab ini terdapat beberapa hadis yang diriwayatkan daripada Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zaid bin Thabit, Abu Talha, Abu Ayyub dan Abu Musa. Sebagian ulama berpendapat whudu dimestikan apabila memakan makanan yang telah dimasak.[7]


            Menurut al-Hazimi, antara ulama yang berpandangan demikian ialah Ibn Umar, Talhah, Anas bin Malik, Abu Musa, `Aishah, Zaid bin Thabit, Abu Hurairah, Abu `Izzah al-Hazali, Umar bin Abdul Aziz, Abu Mijlaz, Abu Qilabah, Yahya bin Ya`mar, Hasan al-Basri dan al-Zuhri. Tetapi kebanyakan ahli ilmu dan para fuqaha berpendapat tidak perlu berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak. Mereka menganggap itu adalah perkara yang terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.[8]

Hadis-hadis yang menjadi hujah mereka ialah:

Dari Ibn Abbas: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yang hadapan, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”

Hadis `Amr bin Umayyah al-Dhamri:

Bahwa dia melihat Rasulullah s.a.w. memotong kaki kambing yang hadapan yang dimakannya, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.

Hadis Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w.:

Dari Maimunah, isteri Rasulullah s.a.w. katanya: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. telah memakan kaki kambing yangdihadapanya dekat dengan beliau, kemudian sholat tanpa mengambil wuduk.”

Dari Jabir katanya: Perkara terakhir daripada Rasulullah s.a.w. ialah tidak berwuduk kerana memakan makanan yang dimasak dengan api.




KESIMPULAN

Ilmu nasikh dan mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang hadits yang datang terkemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.
Ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak periode hadits pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.
Syarat-syarat nasakh yaitu:
·         Adanya mansukh (yang dihapus)
·         Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus)
·         Adanya nasikh (yang berhak menghapus)
·         Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf)



1)         Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits cet. 1 (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005) hlm. 127
2)         Fachtur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1974) hlm. 331
3)         Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm. 120
4)         Manna’ al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits. Hlm. 128
5.         Lihat Zuhaili, Ilmu Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 2. Hlm. 967
6.        Zuhaili, Op cit, jilid 2, hlm. 971
7.        Jami’ al-Tirmizi,. Jilid 1. Hlm 32
[8] .          Al-Hazimi, , Al-I`tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Akhbar, hal. 9

1 komentar:

  • Singgih2011 says:
    18 Februari 2017 pukul 17.07

    Alhamdulillah. tulisan yang bagus.

Posting Komentar