oleh Rufiqah Sari Mahasiswi Tafsir Hadis, UIN SUSKA Riau.
BAB
I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW,
sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Artinya bahwa prinsip
dasar dan tujuan utama al-Qur’an yang hendak disampaikan kepada umat ini tidak
pernah berubah. Hanya saja, semangat al-Qur’an itu bisa saja berbeda, manakala
ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap
al-Qur’an pun dapat saja atau kurang tepat. Ini terjadi karena respon seseorang
terhadap al-Qur’an pada kurun waktu tertentu akan berbeda dengan respon
seseorang yang hidup pada kurun waktu yang lainnya.
Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi dalam tafsir wa al-Mufassirun
telah menginterventaris sedikitnya lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus
dikuasai oleh seseorang guna untuk memahami teks al-Qur’an, salah satu
diantranya adalah ilm al-nasikh wa al-mansukh.
Pengetahuan yang benar terhadap teks yang nasikh dan yang mansukh,
disamping dapat membantu seseorang di dalam memahami konteks diturunkannya
sebuah teks, juga dapat mengetahui bagian mana teks al-Qur’an yang turun lebih
dahulu dan yang turun kemudian. Di sisi lain, pengetahuan terhadap fenomena ini
juga akan memperteguh keyakinan kita bahwa sumber al-Qur’an yang hakiki adalah
Allah SWT. Sebab, Dialah yang menghapus sesuatu dan menetapkan yang lainnya
menurut kehendak-Nya, dan kekuasaan-Nya tidak dapat diintervensi oleh kekuatan
apapun. [1]
BAB
II
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN NASAKH DAN MANSUKH
Nasakh mempunyai
beberapa pengertian yakni:
1.
Nasikh dengan
ma’na:
Seperti firman
Allah dalam surat al-Hajj: 52:
!ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ã ß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä 3
ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÎËÈ
Artinya: “Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan
ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2.
Nasakh dengan
ma’na:
Allah berfirman
dalam surat an-Nahl: 101:
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä
ªÇÊÉÊÈ
Artinya: “Dan apabila
Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya.”
3.
Nasakh dengan
ma’na: seperti
menasikhkan warisan, dengan makna mengalihkan warisan dari satu orang ke orang
yang lain.
4.
Nasakh dengan
ma’na: yang
berarti menuqilkan dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti (aku telah menuqilkan kitab),
yang berarti telah mengutip suatu kitab yang sama persis baik secara lafaznya maupun
penulisannya.[2]
Sedangkan secara terminologis para ulama berbeda pendapat di dalam
mendefenisiskannya. Perbedaan perndapat tersebut bersumber pada banyaknya
pengertian naskh secara etimologis. Di antara beberapa defenisi etimologi
tersebut, masih sulit ditentukan secara pasti arti yang mana sesuai bagi
al-Qur’an mengenai nasikh ini. Sehingga tidak mengherankan jika dikalangan para
ulama, baik ulama mutaqaddimin maupun ulama muta’akhirin, terjadi
perbedaan pendapat di dalam mendefenisikannya sesuai dengan pemahaman mereka
terhadap arti etimologisnya.
Ulama mutaqaddimin menggunakan term nasakh ini untuk beberapa
pengertian, yaitu:
1.
Pembatalan
yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.
Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
3.
Penjelasan
yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4.
Penetapan syarat
terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Dengan demikian, mereka memandang nasakh sebagai dalil yang datang
kemudian, sebagai sesuatu pandangan yang lebih umum daripada arti menggugurkan atau
merubah hukum pertama, yang menjelaskan akhir masa berlakunya dan menjelaskan
bahwa mengamalkan hukum itu tidak diharuskan untuk selamanya oleh syara’. Atas
dasar inilah, mereka memperluas dan menggunakan semua pengertian nasakh,
sehingga nasikh menurut mereka bisa mencakup semua bentuk penjelasan, yakni taqyid
terhadap muthlaq, takhsish terhadap yang ‘am, dan lain
sebagainya.
Sementara itu, menurut ulama mutaakhirin bahwa nasakh sebagai
dalil yang datang kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan
hukum yang pertama. Dengan demikian, mereka mempersempit ruang lingkupnya
dengan beberapa syarat, baik yang menasakh maupun yang dinasakh. Hal ini
dilakukan untuk membedakannya dengan mukhashish (yang mentakhsish)
terhadap yang ‘am dan muqayyid terhadap yang muthlaq,
dimana hal ini tidak diperhatikan oleh para ulama terdahulu, bahkan mereka
tidak terikat dengan masalah-masalah tersebut.[3]
Sedangkan al-Mansukh ialah: =
hukum yang diangkatkan.
Umpamanya:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& (
Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# ………4
Artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”.
(QS.an-Nisa:11).
Ayat ini menasikhkan
hukum wasiat dari ibu dan bapak kepada anak mereka.
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ (
$)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya: “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” (Qs. al-Baqarah: 180).[4]
- SYARAT-SYARAT NASAKH
1.
Hukum yang
mansukh adalah hukum syara’.
2.
Dalil penghapusan
hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih kemudian dari kitab yang
hukumnya mansukh.
3.
Kitab yang
mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika
tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan
yang demikian tidak dinamakan nasakh.
Makki berkata: segolongan ulama menegaskan bahwa kitab yang mengisyaratkan
waktu dan batas tertentu, seperti firman Allah:
(#qàÿôã$$sù (#qßsxÿô¹$#ur 4Ó®Lym uÎAù't ª!$# ÿ¾ÍnÍöDr'Î/ 3
¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÉÒÈ
Artinya: “Maka ma'afkanlah dan biarkanlah
mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”. (Qs: al-Baqarah: 109), adalah muhkam, tidak mansukh, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu.
Sedang apa yang dikaitkan dengan batas waktu, tidak ada nasakh di dalamnya.
- RUANG LINGKUP NASAKH.
Dari uraian diatas diketahui bahwa nasakh hanya terjadi pada
perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah)
atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengn
persolalan akidah, yang berfokus kepada zat Allah, sifat-sifat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini
karena semua syari’at Illahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedang
dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adalah sama. Allah berfirman:
tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur (
÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 ÇÊÌÈ
Artinya: “Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.” (Qs. as-Syura:13).
Dalam hal qisas Allah berfirman:
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4
ÇÍÎÈ
Artinya: “Dan Kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya.” (Qs. al-Maidah: 45).
Dalam hal jihad pun
Allah berfirman:
ûÉiïr'x.ur `ÏiB %cÓÉ<¯R @tG»s% ¼çmyètB tbqÎn/Í ×ÏWx. ÇÊÍÏÈ
Artinya: “Dan berapa
banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut
(nya) yang bertakwa.” (Qs. ali ‘Imran:146).
Dan mengenai akhlak Allah berfirman:
wur öÏiè|Áè? £s{ Ĩ$¨Z=Ï9 wur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB (
ÇÊÑÈ
Artinya: “Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh.”
Nasakh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak
bermakna talab (tuntutan, perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’ad)
dan ancaman (al-wa’id).
- PEMBAGIAN NASAKH
Nasakh ada empat
bagian:
1.
Nasakh al-Qur’an
dengan al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam
pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang iddah
empat bulan sepuluh hari.
2.
Nasakh al-Qur’an
dengan Sunnah. Nasakh ini ada dua macam:
a.
Nasakh al-Qur’an
dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh
hadits ahad, sebab al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang
hadits adalah zanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga).
b.
Nasakh al-Qur’an
dengan hadits mutawatir. Nasakh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan
Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah
berfirman:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya: “Dan
Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. an-Najm:
3-4).
Dalam pada itu asy-Syafi’I, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya
yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3
öÇÊÉÏÈ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau
Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Qs. al-Baqarah:106).
3.
Nasakh sunnah
dengan al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah
menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan Sunnah dan di dalam al-Qur’an
tidak terdapat dalil yang
menunjukkannnya. Ketetapan itu dinasakhkan oleh al-Qur’an dengan
firman-Nya:
ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
ÇÊÍÍÈ
Artinya: “Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Qs. al-Baqarah:144).
Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura yang ditetapkan berdasarkan Sunnah,
juga dinasakh oleh firman Allah:
`yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù (
ÇÊÑÎÈ
Artinya: “ Maka
barang siapa menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa.” (Qs.
al-Baqarah: 185).
Tetapi nasakh versi ini pun ditolak Syafi’i dalam salah satu
riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan al-Qur’an tentu didukung pula
oleh Sunnah. Hal ini karena antara kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan
dan tidak bertentangan.
4.
Nasakh Sunnah
dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk:
a.
Nasakh mutawatir
dengan mutawatir
b.
Nasakh ahad
dengan ahad
c.
Nasakh ahad
dengan mutawatir
d.
Nasakh mutawatir
dengan ahad.
Tiga bentuk pertama yang disebutkan diatas dibolehkan,
sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh al-Qur’an
denga hadits ahad, yang tidak dibolehkan
oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas atau
menasakh keduanya, maka pendapat yang sahih tidak membolehkannya.
- MACAM-MACAM NASAKH DALAM
AL-QUR’AN
Nasakh dalam al-Qur’an ada tiga macam:
1.
Nasakh tilawah
dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oeh Muslim dan yang lain, dari Aisyah,
ia berkata:
Di antara yang diturunkan kepada beliau adalah sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim,
kemudian (ketentuan) ini dinasakh oleh lima susuan yang maklum. Maka ketika
Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk ayat al-Qur’an yang tetap dibaca
sebagai bagian dari teks al-Qur’an.
Kata-kata Aisyah,”lima susuan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca”,
pada lahirnya menunjukkan bahwa tilawahnya masih tetap. Tetapi tidak demikian
halnya, karena ia tidak terdapat dalam mushaf Usmani. Kesimpulan demikian
dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika
beliau menjelang wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu telah dinasakh tetapi
penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah
wafat. Oleh karena itu ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap
membacanya.
Qadi Abu Bakar menceritakan dalam al-intisar tentang suatu
kaum yang mengingkari nasakh macam ini, sebab khabar yang berkaitan dengannya
adalah khabar ahad. Padahal tidak tidak boleh memastikan sesuatu itu adalah al-Qur’an
atau menasakh al-Qur’an dengan khabar ahad. Khabar ahad tidak dapat dijadikan
hujjah karena ia tidak menunjukkan kepastian, tetapi yang ditunjukkannnya hanya
bersifat dugaan.
2.
Nasakh hukum,
sedang tilawahnya tetap. Misalnya nasakh hukum ayat iddah selama satu
tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak dikarang
kitab-kitab yang di dalamnya para pengarang menyebutkan bermacam-macam ayat.
Padahal setelah diteliti, ayat-ayat seperi itu hanya sedikit jumlahnya,
sebagaimana dijelaskan Qadi Abu Bakar ibnul-‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin timbul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan
hukum sedang tilwahnya tetap?
Jawabannya ada dua segi:
a.
Al-Qur’an disamping
dibaca untuk diketahui dan diamalkan hukumnya, juga dibaca karena ia adalah kalamullah
yang membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena hikmah ini.
b.
Pada umumnya
nasakh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah tilawah untuk mengingatkan
akan nikmat dihapuskannya kesulitan (musyaqqah).
3.
Nasakh tilawah
sedang hukumnya tetap. Untuk macam ini mereka mengemukakan sejumlah contoh.
Diantaranya ayat rajam. [5]
- METODE MENGETAHUI NASAKH
Berkaitan dengan pentingnya pengetahuan mengenai masalah nasakh ini,
Manna al-Qathan telah menetapkan tiga metode yang dapat dipakai untuk
mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan nasakh dan ayat lain sebagai mansukh.
Ketiga metode tersebut adalah :
1.
Berdasarkan
informasi yang jelas (al-naql al-sharih) yang didapat dari Nabi SAW, dan
sahabat. Seperti hadits: “kuntu nahaitukum ‘an ziarah al-qubr, ala fazuruha”
(aku dulu melarang kamu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah).
Demikian juga, ungkapan Anas tentang kisah sumur maunah, berkenaan dengan
mereka turunlah ayat al-Qur’an yang pernah kami (penulis red) baca sampai
akhirnya ia dihapus.
2.
Berdasarkan
konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasakh da ayat itu mansukh.
3.
Berdasarkan
studi sejarah tentang mana ayat-ayat yang turun terlebih dahulu (al-mutaqaddam)
dan mana yang berkemudian (al-muta’akhir).
Lebih lanjut Qaththan menegaskan bahwa nasakh tidak dapat ditetapkan
berdasarkan ijtihad, atau berdasarkan pendapat para mufassir, atau pun
berdasarkan dalil-dalil yang secara zahir nampak kontradiktif. Demikian juga,
nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan terbelakangnya keIslaman seseorang
dari dua perawi.
Pendapat Manna’ al-Qaththan di atas senada dengan pendapat Ibn
al-Hisr sebagaimana dikutip al-Suyuthi dalam itqan-nya yang mengatakan sebagai
berikut:
“Persoalan nasakh harus didasarkan pada informasi yang jelas dari
Rasulullah SAW, atau dari seorang sahabat yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh
oleh yang ini. Metode ini juga dapat digunakan jika terjadi kontradikisi secara
pasti, dengan dibantu ilmu-ilmu sejarah untuk mengetahui mana ayat yang
terdahulu dan yang terkemudian. Lebih lanjut ia mengatakan: “Dalam persoalan
nasakh tidak diperbolehkan berpegang pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang sahih dan jelas dari Nabi atau sahabat, sebab nasakh mengandung makna
menghapus suatu hukum dan menetapkan hukum yang sudah ditetapkan pada masa Nabi
SAW, sedangkan landasannya adalah naql (teks al-Qur’an dan al-Sunnah) dan fakta
sejarah, bukan pendapat atau hasil ijtihad. [6]
- PERBEDAAN ANTARA NASAKH DAN
TAKHSIS
Ada beberapa perbedaan antar nasakh dan takhsis yaitu:
1.
Takhsis ialah
membatasi jumlah Afradul amm, sedang nasakh ialah membatalkan hukum yang telah
ada dan diganti dengan hukum yang baru (tabdil).
2.
Takhsis (mukhasis)
bisa dengan kata-kata al-Qur’an dan hadits dengan dalil-dalil syara’ yang lain
seperti ijma’, qiyas juga dengan dalil akal. Sedangkan nasakh hanya dengan
kata-kata saja.
3.
Takhsis hanya
masuk kepada dalil amm. Nasakh bisa masuk kepada dalil amm maupun dalil khash.
4.
Takhsis hanya
masuk kepada hukum saja. Nasakh dapat masuk kepada hukum dan membatalkan berita-berita
dusta.[7]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Nasakh ada
yang bermakna izalah, tabdil, tahwil dan an-naql.
·
Nasakh
hanya terjadi pada perintah dan larangan.
·
Nasakh
dalam al-Qur’an ada nasakh tilawah dan hukum, nasakh hukum sedang tilawahnya
tetap dan nasakh tilawah sedang hukumnya tetap.
·
Sedangkan
metode mengetahui nasakh yaitu berdasarkan konsensus, informasi yang jelas dan
studi sejarah.
[1] Mohammad Nor Ichwan. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an. RaSAIL.
Semarang. 2008. hal. 105-106.
[2] Imam al-Hafidz Jalaliddin as-Suyuthi. al-Ittqanu fi ‘ulumil
qur’an al-Juz’ul ats-Tsani. Daaru as-Salam. Iskandariyah. 2008. hal.
578.
[3] Mohammad Nor Ichwan, Op., cit hal. 108-109.
[4] Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. Ulumul Qur’an. Pustaka Setia.
Bandung. 2006. hal. 158-159.
[5] Manna’ Khalil al-Qattan. Diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an. Litera AntarNusa. Bogor. 2010. hal. 336-337.
[6]Mohammad Nor Ichwan. Op.,cit. hal. 120-122.
[7] Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i. Op., Cit. hal. 162.
0 komentar:
Posting Komentar